Bao Shanniang terbangun dari tidurnya seorang diri. Ada sebuah pesan yang ditinggalkan untuknya pada meja kayu di tepi tempat tidur.

"Kita sudah bercerai, kau bebas memilih suami yang kau cintai.

Guan Suo."

Kedua mata Bao Shanniang terbelalak membaca pesan singkat tersebut. Mulutnya terbuka karena tidak percaya dan segurat kekesalan terlihat pada wajahnya. Disobek-sobeknya surat itu dengan kesal, dilemparkannya ke lantai kemudian diinjak-injak.

Sejak bulan masih menghiasi langit dan menerangi hutan, Guan Suo sudah menyibak semak belukar menembus hutan liar ke arah timur. Hari demi hari ia lewati, bagai diburu setan, ia bergerak tanpa henti ke arah Jing.

Ketika mencapai tujuannya, ia menyewa sebuah rumah kecil dan bekerja keras, sambil mencari informasi mengenai keberadaan keluarga Guan Ping. Namun sedikit yang ia dapatkan, ia tidak bisa mengorek lagi lebih dalam karena takut dirinya akan dicurigai tentara setempat. Maka setelah satu tahun berlalu akhirnya ia mendapat kabar bahwa jendral Zhang Fei dikhianati anak buahnya sendiri dan menakhluk pada Lu Meng, Guan Suo merasa geram dan akhirnya tidak berpikir panjang lagi untuk melakukan hal nekad yang selama ini dipertimbangkannya dengan ragu.

Malam itu malam bulan baru di musim dingin. Dengan sebilah pisau daging ditangan, Guan Suo menyelinap ke dalam rumah besar yang dahulu menjadi tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Kini rumah yang penuh kenangan itu dihuni oleh seorang pengkhianat yang membunuh ayahnya. Guan Suo harus membunuh empat orang penjaga ronda malam dan menyembunyikan mayat mereka untuk mengunjungi kamar dayang tua Hua.

Dayang tua itu masih mengenali Guan Suo dan terlihat begitu terharu saat bertemu lagi dengannya. "Oh…cucuku … kukira kau sudah mati…"

Guan Suo memeluk neneknya penuh kerinduan sambil berlutut di hadapannya.

Dayang tua Hua menangis sambil mengungkapkan hal yang membuatnya sedih selama satu tahun ini. "Nyonya Guan bunuh diri…sementara istri Guan Ping melarikan diri bersama anaknya yang masih bayi…"

"Aku harus mencari mereka. Apa nenek tahu kemana mereka pergi?"

"Aku tidak tahu, mereka tidak bilang apapun padaku. Kurasa aku tidak akan bisa melihat mereka lagi."

"Nenek, aku pasti akan membawamu keluar dari sini. Kau tidak bisa tinggal bersama seorang pengkhianat."

"Jangan, jangan, Weizhi! Hua tua ini hanya akan membebanimu saja. Lebih baik kau mencari istri dan anak kakak angkatmu."

Guan Suo tidak bicara apapun lagi karena terus didebat oleh sang nenek. Ia segera pergi meninggalkan neneknya.

Namun ternyata selama ia berbicara dengan nenek, para penjaga telah menemukan salah satu mayat teman mereka yang masih hangat. Laporan segera sampai pada Lu Meng yang sedang terlelap. Mendengar para penjaga melaporkan ada penyusup, Lu Meng segera mengenakan pakaian dan memerintahkan para penjaga untuk memperketat pengawasan dan menangkap si penyusup.

Guan Suo bersembunyi di balik bayang-bayang dan melemparkan pisau daging berlumur darah di tangannya. Lemparannya tepat menancap pada batang leher seorang penjaga, merobek pembuluh darah besarnya hingga tewas. Seperti harimau, ia melompat dan mencabut pisau daging itu dan kembali bersembunyi di seberang. Tak lama, mayat itu ketahuan sebelum Guan Suo mencapai pintu keluar rahasia yang dahulu seringkali digunakannya bersama Xing Cai untuk menyelinap keluar dari istana. Mendadak seisi kastil menjadi begitu ramai dan tegang. Para penjaga berlarian menelusuri tembok-tembok.

Namun yang membuatnya kembali lagi adalah suara Lu Meng yang tertangkap gendang telinganya.

"Bagaimana mungkin kalian membiarkan lima orang teman kalian terbunuh seperti ini? Cari dia, cepat! Aku ingin lihat wajah cecunguk itu, biar kubunuh dia! Belum tahu siapa penghuni kastil ini; pembunuh Guan Yunchang!" katanya dengan bangga.

Guan Suo menarik otot bibirnya dengan dengki dan jijik. Ia kembali lagi ke dalam dan menunggu seorang prajurit melewatinya untuk merobek urat-urat punggungnya dengan satu sabetan keras. Prajurit itu menjerit, menarik perhatian prajurit lain di sekitarnya.

Malam itu Guan Suo bertekad untuk membunuhi setiap prajurit Wu yang ia temui di kastil ini.

Tiga orang lain berteriak karena terkejut dan salah satu dari mereka langsung kehilangan kepalanya oleh sebuah sabetan keras. Dua orang lainnya menyerang sebisanya dengan tombak mereka. Guan Suo mematahkan batang-batang tombak mereka dan kembali mengayunkan pisau dagingnya. Satu sabetan mengiris dada seorang prajurit. Baju zirah yang dikenakannya menjadi tidak berguna karena besi itu ikut terbelah.

Pisau daging itu sudah tidak sanggup membelah apapun lagi dan retak ujungnya karena sedari tadi digunakan dengan liar.

Prajurit yang tersisa menyerang dengan berani. Guan Suo cukup berkelit sambil menangkap tombak yang digunakannya dan mengiris wajahnya secara diagonal dengan pecahan pisau daging yang tersisa.

Prajurit itu tewas dan berlutut di hadapannya. Pemuda itu sadar ada banyak prajurit yang menghampiri lokasinya dan ia butuh senjata yang lebih baik daripada golok yang tinggal setengah. Maka si pendekar mencabut golok yang tergantung pada pinggang prajurit itu dan berdiri tegar, bersiap menghadapi orang yang telah memancing temperamennya.

"Guan Suo! Namamu pasti Guan Suo, kan? Kau datang kemari untuk menemui dayang tua ini, aku tahu ia memiliki hubungan khusus denganmu. Sekarang, menyerahlah atau aku akan membunuh nenek tua ini!" seru Lu Meng dengan gugup.

Guan Suo pun menunjukkan dirinya, keluar dari persembunyiannya. Tidak memperdulikan para prajurit yang mengacungkan mata tombak padanya, dia berjalan menghampiri Lu Meng.

Keringat dingin membuat Lu Meng merinding. Kulit yang gelap itu, postur jangkung, sepasang mata phoenix, dan sorot mata yang tidak kenal takut. Jendral Wu itu merasa seperti baru saja didatangi seseorang yang bangkit dari kubur. Bila bukan karena Guan Suo tidak memelihara janggut panjang seperti ayahnya, Lu Meng sudah dapat dipastikan akan gemetar karena mengira baru saja melihat hantu.

"Kau semakin mirip dengan ayahmu saja." Puji Lu Meng setengah berbasa-basi.

"Pengkhianat tidak pantas berbicara mengenai ayahku." kata Guan Suo dengan tegas.

"Yang terjadi antara aku dan ayahmu itu tidak terhindarkan. Aku maklum karena kau masih muda, kau masih belum tahu sisi ironi dari perang. Tahukah kau bahwa aku pun menangis dalam hati ketika melihat mayat Guan Yunchang?" Kata Lu Meng.

Kata-kata lembut dari Lu Meng itu sama sekali tidak dihiraukan pemuda yang sedang terbakar emosi ini. "Dimana kakak iparku?"

"Aku tidak tahu dimana dia. Dia sudah pergi saat pasukanku kembali ke Jing. Kalaupun dia masih ada saat pasukanku menduduki tempat ini, aku tidak akan mencelakakan dia demi persahabatanku dengan Guan Yunchang."

"Lepaskan dia." Guan Suo menunjuk nenek tua yang ketakutan karena sedang disandera Lu Meng. Nenek tua itu takut salah bicara sehingga bisa merugikan cucu kesayangannya, ia hanya bisa diam dan berharap cucunya bisa selamat melewati malam ini tanpa kekurangan apapun.

"Aku tidak menyanderanya, apa yang kulakukan? Ia baik-baik saja, lihatlah. Lagipula, kalau aku memang berniat jahat sejak awal, sudah pasti nenek tua ini kuusir dari istana, bukan? Ayolah, pikirkan kembali, hapuskan dendam di antara kita."

"Tidak hanya Lu Xun … ternyata semua anjing-anjing Wu suka berbicara berbelit-belit." Guan Suo menghunus pedang di tangannya, membuat komandan musuh di hadapannya menjadi ketakutan.

"Pikirkan lagi. Aku bisa membunuh nenekmu bila aku mau. Jarak diantara kita cukup jauh, kau takkan sempat …" sebuah pedang melesat secepat kilat, menebas tangan Lu Meng yang menggenggam pedang hingga buntung.

Ketika darah mengucur deras dari tangan itu, Lu Meng terbelalak ngeri dan seluruh prajurit Wu serempak maju menyerang Guan Suo. Namun ia tidak gentar. Ia menangkap seorang pasukan Wu dan merebut tombaknya dan menggunakannya untuk melawan orang lainnya.

"Bunuh nenek itu!" seru Lu Meng dengan marah dan takut.

Dan seorang prajurit pun menebas dayang tua Hua hingga mati. Guan Suo terbelalak marah melihat neneknya jatuh bersimbah darah.

Kemarahan tersulut, Guan Suo menangkap dan merebut semua tombak yang mengacung ke tubuhnya. Ia berputar mengibaskan tombak yang kini terlihat seperti sedang menari berputar-putar pada tubuh dan lehernya dengan cepat. Siapapun yang tidak cukup menjaga jarak dari jangkauannya, atau tidak mampu kabur dari ayunan tombaknya, mati tergores mata tombak. Guan Suo terlalu memaksakan tombaknya sehingga senjata itu patah. Begitu patah, ia langsung merampas senjata lain dan dibunuhinya semua yang berada cukup dekat dengannya.

Sepasukan pemanah melesatkan panah mereka, Guan Suo menangkis sebisanya, hanya menyisakan satu batang anak panah yang menancap pada bahunya. Dicabutnya panah itu dan dilemparkan tombaknya mengenai si pemanah. Pemanah itu tewas dengan dada tertembus tombak. Guan Suo menghampiri mereka dan merampas crossbow mereka dan digunakannya untuk membunuhi siapapun yang menghalangi.

Sasarannya hanya satu; Lu Meng.

Jahanam itu telah merengut impian tuan ayahnya, nyawa ayah dan kakaknya, memecah belah sebuah keluarga, dan kini ia tega membunuh seorang nenek tua yang sedang sakit.

Dengan geram, ia berseru, "Lu Meng! Kubunuh kau!"

Lu Meng berlari ketakutan sambil memegangi tangan kanannya yang buntung. "Bunuh dia! Kenapa membunuh seorang bocah saja tidak bisa? Bunuh!"

Guan Suo tidak menyerah menghadapi puluhan musuh yang menghadangnya. Tak ada gerakan sia-sia, sekali tebas tiga hingga empat orang musuh ambruk. Sekalipun begitu, musuh tetap berdatangan tiada henti. Akhirnya Guan Suo melompat keluar dan berlari kencang mengejar Lu Meng.

Pasukan pemanah masih terus menembaki Guan Suo. Namun karena ia berlari semakin dekat pada Lu Meng, pasukan pemanah menjadi ragu dan berhenti memanah karena takut terkena tuannya. Dengan tombak di tangan, Guan Suo menusukkannya ke punggung Lu Meng.

Tepat sasaran dan menancap. Guan Suo terus menekannya, ia ingin menembus tubuh Lu Meng, mensatai-nya pada tombak itu. Kalau bisa dibakar sekalian agar bisa dimakan anjing-anjing hutan.

Lu Meng terjatuh dan Guan Suo mencabut tombak itu. Lu Meng membalikkan tubuhnya sambil memuntahkan darah dari mulutnya. "Kenapa kau dendam padaku? Dalam perang tidak ada yang namanya sahabat …."

"Memang, inilah perang." Guan Suo menusukkan tombak di tangannya ke jantung Lu Meng dengan kuat menembus pakaian zirahnya. Digoyangnya tombak itu hingga tubuh Lu Meng semakin terkoyak.

Melihat pimpinan mereka telah mati, para prajurit Wu terbengong. Lu Meng adalah pimpinan tertinggi di Jing. Kematiannya berarti kepemimpinan di Jing telah kosong. Tidak ada prajurit yang berani maju, lagipula sebagian dari mereka dulu adalah anak buah Guan Yu. Sedikit banyak ada di antara mereka yang telah mengenal Guan Suo, atau pernah bertarung di sisinya pada saat penyerbuan ke kastil Fan beberapa waktu lalu.

Salah seorang di antara mereka maju dan berkata pada Guan Suo. "Kau bisa pilih. Mengambil alih kepemimpinan Lu Meng atas nama Shu dan kembali tinggal di sini, atau pergi dari sini baik-baik. Bila kau memilih pilihan kedua, aku harap malam ini juga kau meninggalkan Jing. Karena esok pasti Sun Quan sudah memilih pengganti baru untuk Lu Meng dan mereka akan mencarimu."

Tinggal di sini atas nama Shu berarti mewujudkan impian ayahnya. Namun Guan Suo tahu bahwa Sun Quan akan lebih cepat mengirimkan pasukan untuk merebut Jing kembali. Lagipula, ia tidak mengerti ilmu perang dan minim pengalaman. Guan Suo yang merasa tidak siap memimpin pasukan, memilih pilihan kedua.

Malam itu juga, ia pergi meninggalkan Jing.



Sumber

Comments (0)

Clock World