Guan Ping telah menikah tak lama setelah Guan Xing dan Xing Cai pergi meninggalkan Jing. Ia segera dikaruniai seorang putra yang sehat. Guan Suo mendampingi istri Guan Ping melahirkan seorang anak karena saat itu Guan Ping sedang berhalangan hadir. Itulah pertama kalinya Guan Suo menyaksikan proses kelahiran seorang manusia.
Sungguh menakjubkan. Wanita memang aneh …
Beberapa detik lalu ia menjerit-jerit seperti tahanan yang sedang disiksa.
Namun begitu mendengar suara tangisan bayinya yang lantang,
Seketika wajahnya berubah menjadi begitu bahagia.
Dengan penuh kerinduan ia mencari-cari anaknya, meminta bidan memberikan putranya yang baru lahir itu ke dalam pelukannya, menciumnya penuh kasih sayang dan menatapnya dengan lembut.
Kenapa ia tidak mengutuki bayi itu karena telah merepotkannya selama 9 bulan dan kini membuatnya menderita atas kelahirannya di dunia ini?
Apakah saat aku lahir … ibuku juga seperti itu?
Sekitar 2 tahun kemudian akhirnya Guan Yu mulai bergerak untuk menyerang Wei di istana Fan. Ketika hendak mengatur pasukan, Guan Yu mengetahui bahwa perbatasan di Wu dijaga oleh seorang pemuda seusia Guan Xing bernama Lu Xun, Guan Yu mentertawakan pihak Wu. "Betapa bodohnya mereka, menyuruh anak kecil menjaga perbatasan. Tampaknya mereka benar-benar sudah menyerah!"
Saat semua orang sibuk mempersiapkan persenjataan dan ransum, Guan Suo sedang duduk memeluk tombaknya sambil mengais-ais tanah. Semua orang sibuk. Ayah, Guan Ping, tidak ada waktu untuk memperdulikan seorang pemuda labil yang sedang kebingungan mengenai tempatnya di dunia ini dan untuk apa dia hidup bila hidupnya terasa tidak ada artinya.
Guan Suo tidak pernah mendapatkan pelatihan militer atau pelatihan silat secara khusus. Bila ia bertengkar, ia bertengkar dengan gerakan ala kadarnya. Tenaganya memang cukup kuat, namun tampaknya ia memiliki bakat natural mengenai pertempuran…
Kala pertempuran berlangsung begitu dahsyat, Guan Suo menolak ada di barisan aman dan meminta ditempatkan di baris depan. Prajurit pertama yang ia bunuh adalah seorang tentara Wei yang berusaha memotong lehernya. Setelah darah pertama itu memuncrat ke wajahnya, Guan Suo seperti kehilangan akal dan bangkit. Mencabut kembali pedangnya dari leher tentara Wei itu dan membacok seorang prajurit musuh yang sedang menusuk temannya.
Dua orang sudah terbunuh. Ia sendiri tidak mengerti kenapa ia menyeringai.
Guan Suo terus membunuh musuh satu persatu, merasa ketagihan atau barangkali ia hanya kerasukan setan perang. Darah yang memuncrat terasa sangat memuaskannya. Ia ingin membunuh, haus akan nyawa musuhnya.
Dan akhirnya …
Bzrattt…
Tidak sengaja ia membacok temannya sendiri. Ketika ia terpaku menyadari kekeliruannya, seseorang menghampirinya dan mengayunkan pedang ke kepalanya dari belakang. Namun orang itu segera menjerit setelah sebuah godam raksasa menghajar kepalanya. "Jangan diam saja! Serbu..!"
Guan Suo tersenyum. Pemuda 18 tahun itu berjalan mandi darah menelusuri areal perang. Pedangnya telah membelah besi dan kulit lawan. Sensasi ini … sendirian, dalam bahaya, tidak ada sudut yang aman….kematian ada di sekitar, depan, belakang, kanan, kiri … Entah mengapa situasi diujung batas kehidupan begitu menggairahkannya.
Orang bilang ayahku dewa perang.
Dengan begini, apakah ini berarti aku pewarisnya?
Aku … hasil dari hubungan kotor ayahku dengan dayangnya sendiri …
Dimana orang lain menyebutku anak haram dan tidak sah
Namaku sama sekali tidak tercatat dalam silsilah keluarga hanya karena wanita yang melahirkanku adalah seorang dayang.
Inikah semangat perang Jendral Guan Gong yang mengalir di dalam darahku?
Ketika Guan Suo mencabut nyawa seorang musuh, nuraninya berusaha menyadarkannya bahwa lawan itu adalah manusia. Pasti punya keluarga. Orang yang baru saja ditusuknya sampai mati ini pasti punya anak atau istri. Dan lelaki muda yang baru saja ia bacok wajahnya ini pasti memiliki kekasih yang menunggunya kembali seusai perang.
Ada ratus ribuan orang bergulat memperebutkan dan mempertahankan nyawa, … setiap satu orang tumbang, ia pasti memiliki setidaknya tiga orang yang akan menangisi kematiannya. Membunuh satu musuh berarti menyelamatkan nyawaku, membuat lima orang bergembira, dan lima orang di pihak lain menangis.
Satu nyawa melayang dengan mudah … membuat proses kelahiran menjadi begitu tidak berarti.
Untuk apa kita hidup bila untuk mencapai kedamaian kita harus mengakhiri hidup orang lain?
Apakah arti hidup?
Ah, siapa perduli..!
Aku baru tahu bahwa perang itu nikmat….
Ternyata di sinilah tempatku yang seharusnya … medan perang!
Tanpa terasa peperangan telah berakhir. Guan Yu berhasil mengalahkan Pang De, sebagai gantinya, lengannya terpanah oleh panah beracun. Saat tabib Hua Tuo mengoperasi lengannya dan mengerik tulangnya, para prajurit termasuk Zhou Chang dan Guan Ping yang menyaksikannya menjadi tidak tahan dan kesakitan sendiri. Padahal yang sedang dioperasi sedang santai bermain catur dengan Guan Suo. Sesekali tatapan Guan Yu memeriksa wajah Guan Suo dan tersenyum bangga.
"Kenapa anda tersenyum? Apakah aku salah melangkah?" tanya Guan Suo.
"Lihatlah sekitarmu."
Guan Suo menatap setiap orang di ruangan itu. Termasuk tabib Hua Tuo sendiri terlihat ngeri dengan operasi tanpa bius itu. Dengan sinis, Guan Suo menjawab. "Kau bangga telah membuat semua orang di ruangan ini ketakutan?"
Guan Yu tersenyum lagi. "Aku tertegun melihatmu tidak ngeri mendengar suara kerikan pisau di tulang lenganku ini seperti mereka."
Guan Suo pun memahami maksud ayahnya. Mendadak, hidup 18 tahun dalam bayang-bayang orang asing yang disebut "ayah" mampu dicairkan oleh sebuah kalimat pendek yang mampu membuatnya merasa diterima oleh ayahnya pertama kalinya.
"Aku anak seorang dewa perang."
"Tentu saja." Kemudian Guan Yu melangkahkan pionnya dan skak mat.
"Ahhhhhh…." Keluh Guan Suo.
"Catur memang selalu jadi kelemahanmu." Kata Guan Yu sambil tertawa.
Hujan turun begitu deras, bagaikan air mata menitik dari langit. Guan Suo berdiri di atas benteng Fan menantang derasnya hujan dan angin berhembus merasuk ke tulang sumsum.
"Suo! Masuklah! Kita tidak tahu kapan musuh akan tiba!"
Seperti tidak mendengarkan peringatan kakaknya, Guan Suo tetap tidak bergeming, terus tertegun dibawah guyuran air hujan sambil bergumam. "Mereka menikam dari belakang…."
"Suo!" tegur Guan Ping lagi.
Tak lama kemudian seorang pembawa pesan datang sambil tergopoh-gopoh. "Tuan! Gawat!"
"Ada apa?"
"Dong Wu! Sun Quan…mereka mengkhianati kita! Lu Meng telah menduduki Jing!"
Tak ada tempat kembali. Tidak bisa maju, tidak bisa mundur, dan bila berdiam saja di tempat, waktu mencekik kita bagaikan racun yang akan membunuh korbannya dengan perlahan tapi pasti.
"Kita berada dalam bahaya. Kusarankan kita mundur dulu ke Shu untuk membangun pasukan baru dan merebut kembali Jing dari tangan Sun Quan." Usul Guan Ping.
Guan Yu terlihat sangat marah dan memukul sebuah meja hingga hancur. "Tidak bisa! Mau ditaruh dimana wajahku bila aku melarikan diri meminta perlindungan kakakku, setelah kecerobohanku membuatku gagal menjaga apa yang dititipkan kakak padaku?
Aku telah menghancurkan impian kakakku..!"
Ketika pasukan Guan Yu kembali ke Jing untuk menghadapi Lu Meng, ternyata sebagian pasukan Shu memilih untuk memihak Lu Meng. Berkuranglah jumlah pasukan Guan Yu menjadi beberapa ratus orang saja.
"Lu Meng pengkhianat…! Aku tidak akan melupakan ini!" seru Guan Yu dengan suara menggelegar. Ia begitu marah sehingga anak buahnya harus bekerja sama untuk menahannya agar jendral mereka tidak berbuat ceroboh dengan cara menghampiri Lu Meng saat ini juga.
Pasukan Guan Yu terus melarikan diri dan dikejar-kejar pasukan Sun Quan. Banyak prajurit menderita kelaparan dan sakit. Banyak yang akhirnya melarikan diri dari perkemahan Guan Yu untuk berpihak pada Lu Meng.
Pada malam hari hanya diterangi hangatnya api unggun, Guan Yu terpekur sedih dalam kesendirian. Siapapun yang menghampirinya pasti dimarahi.
"Ayah belum makan. Apakah kau mau mengantarkan bubur ini untuknya?"
Guan Suo menerimanya dan menghampiri ayahnya. Tertegun mendengar suara langkah yang masih terdengar mantap diantara langkah-langkah kaki lain yang sudah terdengar putus asa, Guan Yu menengadah dan melihat putranya berdiri tegar di hadapannya.
"Makan, ayah." Katanya singkat dan dingin. Mengingatkannya saat ia masih muda dahulu.
Guan Yu tersenyum dan menerima bubur itu. "Duduklah, Suo."
Guan Suo duduk tidak jauh dari sisi ayahnya. Kedua pria itu hanya duduk bersama tanpa bicara. Guan Yu tersenyum sendiri menyadari bahwa Guan Suo tumbuh semakin mirip dengan dirinya. Postur tubuhnya tinggi besar, wajahnya gagah dan garang, kulitnya berwarna kecoklatan.
"Aku lihat kau memiliki beberapa luka di tubuhmu sekarang…"
"Ini pertempuran pertamaku. Tapi kelihatannya begitu menegangkan."
"Pertempuran pertamaku … mengatasi pemberontakan turban kuning di utara. Tapi bedanya dengan mu, aku bertempur di peperangan yang bisa kumenangkan. Sedangkan ini … sulit sekali." kata Guan Yu.
"Satu nasihat untukmu, Suo. Menang atau kalah, kaya atau miskin, apapun hasil akhirnya itu bukan masalah. Yang diperdulikan orang lain kelak adalah; dengan cara apa kau melakukannya. Apapun yang kau lakukan, apapun keputusanmu, setialah pada yang benar. Disanalah kehormatan itu berada."
Guan Yu pertama kalinya melihat Guan Suo tersenyum padanya. Dan sejak hidup bersama 18 tahun lalu, inilah pertama kalinya kedua ayah dan anak itu saling tertawa-tawa dan makan bubur satu untuk berdua. Beberapa kali Guan Yu menepuk bahu anaknya, dan Guan Suo mulai menceritakan beberapa hal yang mengganggunya. Guan Yu dengan hati terbuka mengutarakan pendapatnya dan memberikan pengarahan, membuat Guan Suo merasa bagaikan menemukan jalan keluar yang selama ini tertutup semak-semak yang lebat.
Momen itu cukup menyadarkan mereka berdua tentang apa yang ternyata sudah mereka lewatkan selama ini.
Pada pagi buta, mereka dikejutkan oleh suara genderang perang musuh yang telah mengepung mereka di Maicheng.
"Mereka telah mengetahui keberadaan kita dan mengepung rapat!"
Guan Yu menatap ribuan pasukan musuh yang siap mencabut nyawanya. Kala ia menghirup udara menyesakkan di sekitarnya, Guan Yu pun tahu bahwa inilah saatnya.
Guan Ping tetap setia berada di sisinya mendampingi sang ayah. "Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Menyerah atau melawan?"
"Bila kita menyerah, mereka akan membujuk kita untuk mengkhianati Liu Bei. Aku tidak mungkin mau dan mereka sudah pasti akan membunuhku. Namun bila aku melawan, aku akan mati secara terhormat."
Guan Ping merasa gemetar mendengar ucapan ayahnya. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ia belum siap mati. Tapi ia tahu, ia tidak pantas meninggalkan ayahnya sendirian.
"Aku siap mati, Ping. Kau pikir kau siap?" tanya Guan Yu.
"A, aku …" Guan Ping menggelengkan kepalanya dengan ragu.
"Bawalah Suo pergi. Ke tempat yang jauh. Aku mungkin akan mati. Tapi aku ingin dia tetap hidup." Kata Guan Yu.
"Ayah!" Guan Ping lalu berlutut di dekat ayahnya dan mengantukkan dahinya ke lantai. "Aku tidak siap mati! Maafkan aku!
Tapi …. Sejak aku pergi meninggalkan ayah kandungku, Guan Ding, aku sudah bersumpah untuk tidak akan pernah meninggalkan anda sendirian! Mati dan hidup, aku akan tetap berada di dekatmu!"
"Kau tidak perlu mati, kau memiliki seorang anak yang harus kau besarkan. Istrimu membutuhkanmu di sisinya. Demikian pula dengan anakmu."
"Tujuanku menikahi istriku adalah agar ada yang bisa merawatmu di masa-masa tuamu bila aku tidak bisa ada di sisimu! Pengabdianku padamu, harus tidak boleh kalah dari pengabdianmu terhadap kakak anda! Izinkan aku mendampingi anda sampai mati!"
Guan Yu tidak bisa merespon apapun perkataan tulus putra angkatnya itu. Ia menggenggam bahu Guan Ping dengan bangga.
Guan Suo meronta-ronta saat dirinya diikat dan dimasukkan ke dalam kotak. Kemudian kotak itu beramai-ramai diangkut ke dalam kereta kuda. Dari dalam kubus terdengar suara seorang pemuda marah-marah. "Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi! Biarkan aku berperang juga!"
Para prajurit cukup kelelahan mengangkutnya dan kini menghirup nafas lega. "Capeknya …"
"Tenaganya besar sekali…"
Guan Yu kemudian memberikan instruksi singkat pada anak buahnya. "Begini rencananya. Kita buat keributan di sisi timur. Kita fokus di sini saja. Begitu ada celah, segera larikan kereta kuda itu ke tempat Liu Bei. Kakakku pasti bisa menerima dan mengurus Guan Suo dengan baik."
Beberapa prajurit terlihat ketakutan dan kelelahan. "Kita akan bertempur sampai mati?"
"Tentu saja. Bagi yang tidak mau, bebas pergi kemanapun yang kalian mau. Tapi bagi yang ingin bersamaku, kita seret anjing-anjing Dong Wu itu ke neraka bersama kita!"
"Eaaahhhh…..!" hanya Guan Ping dan Zhou Chang yang bersiap untuk mati. Sisanya ketakutan.
Beberapa orang pergi menyerahkan diri pada Lu Meng, beberapa orang menunggu di dalam Maicheng menanti kesempatan untuk melarikan diri saat kepungan musuh melonggar. Dan hanya sedikit sekali yang mengangkat senjata mereka untuk berperang bersama Guan Yu.
Dari dalam kereta kuda, Guan Suo masih berteriak-teriak. "Hoi lepaskan aku! Aku ingin bertarung bersama kalian! Aku siap mati!"
"Pak...dia bisa menjebol kotak itu bila begini terus." Ucap seorang prajurit dengan khawatir.
"Ah, sudah biarkan saja dia. Mari kita hadapi mereka!"
Guan Yu, Guan Ping, Zhou Chang dan anak buah lainnya yang masih setia segera keluar dari Maicheng menghadapi ratus ribuan pasukan Sun Quan yang terlihat masih begitu segar.
"Guan Yu. Kau pahlawan gagah. Kehebatanmu sudah terkenal sejak zaman pemberontakan turban kuning. Kenapa kau tidak bergabung dengan Sun Quan? Ia satu-satunya pemimpin yang mau menuangkan arak ke gelas anak buahnya, dia orang bijaksana yang ditakdirkan langit untuk mewarisi negeri ini! Bersama kita bisa menakhlukkan seluruh Tiongkok!" bujuk Lu Meng sambil tersenyum bangga.
"Masih ingat ucapanku mengenai anak harimau dengan anak anjing? Selamanya anjing tetaplah anjing, mereka tidak akan mengerti jalan pikiran harimau yang terhormat!" Guan Yu mengayunkan senjatanya.
"Masih berani sombong padahal sudah berhadapan dengan kematian … baiklah, sesuai dengan keinginanmu, Jendral terhormat…" Lu Meng kemudian turun dari kereta kudanya. "Tapi sebelum itu … Izinkan aku untuk memberikan penghormatan terakhir padamu, sahabatku. Aku menghormatimu karena kau berperang dengan terhormat dan setia pada tuanmu hingga akhir."
Peperangan tidak seimbang pun segera berlangsung.
Jeritan perang berkumandang di kejauhan, beberapa panah telah menancap di tubuh Guan Yu, kulitnya sobek dan terbuka, mengiris tubuhnya, menumpahkan darahnya ke bumi. Namun Guan Yu tetap bertahan.
Begitu gigihnya Guan Yu berperang, tanpa sadar ia sudah membantai lima ratus prajurit musuh. Tubuhnya sudah bersimbah darah. Darahnya sendiri bercampur dengan darah lawan. Golok berat di tangannya mulai terasa sebagai beban.
…..Guan Yu masih mengayunkan senjatanya … demi sebuah nyawa.
"Datanglah padaku! Datanglah kemari!"
Lambat laun kepungan di sisi Barat pun melonggar. Pada saat itulah kereta kuda yang membawa Guan Suo di dalamnya meluncur keluar.
"Jangan lari dulu! Aku tidak boleh kabur!" seru Guan Suo. Ia mulai menendang dengan bringas kubus yang mengurungnya hingga akhirnya ia terbebas. Kusir kereta kuda berseru padanya. "Jangan! Aku diperintahkan Pak Jendral untuk membawa anda ke Cheng Du dengan selamat!"
"Kau saja yang ke Cheng Du!" Guan Suo yang sudah keluar dari kurungannya itu segera mengambil pedang ala kadarnya, kemudian ia melompat turun dari kereta kuda yang sedang berlari kencang.
Beberapa prajurit Wu yang melihatnya melompat keluar dari kereta dan berlari menghampiri Maicheng, segera menunjuk-nunjuk dia.
"Ada yang kabur! ada yang kabur!" seru mereka sambil mengejar Guan Suo.
"Kabur? Hmph! Aku kembali!" Guan Suo dengan berani menerjang prajurit musuh yang menyerangnya.
Satu tusukan tombak dihindarinya dengan mulus, dilanjutkan dengan serangan kuat yang membelah perut si penyerang. Satu prajurit tumbang, tiga lagi masih menghadang. Guan Suo lebih cepat dari mereka dan dia memenggal seorang prajurit terdekat. Dua lagi tersisa, mereka tidak sempat menyadari bahwa pedang Guan Suo telah membelah leher mereka dan menusuk salah seorang lagi hingga tewas.
Lima orang prajurit yang melihat keberingasan pemuda ini menjadi ragu untuk menyerangnya. "S, siapa kau?"
"Aku?" tanya Guan Suo sambil menyeringai dibalik tatapan matanya yang menyerupai serigala kelaparan. "Aku adalah pewaris dewa perang!"
Guan Suo kembali menerjang musuh-musuh dengan berani. Beberapa pemanah melesatkan panah untuk membunuhnya. Guan Suo menghindari panah itu dengan gerakan alami. Ia membiarkan tubuhnya mengambil alih pikiran dan gerakannya. Setelah memotong sebilah tombak yang menyerangnya, Guan Suo memotong tubuh musuhnya.
Sebilah panah melesat sekali lagi ke wajahnya, Guan Suo memiringkan kepalanya dan menggigit panah itu dan mengambilnya dengan tangan kanannya. Seorang prajurit menghampirinya dengan pedang besar dan mengayun ke wajahnya. Guan Suo kembali menghindari sabetan itu dengan mudah, dan langsung menancapkan panah yang sedang digenggamnya ke wajah si penyerang.
"Kita butuh bantuan! Bantuan…!" seru beberapa prajurit.
Terjadi pertempuran keras di sisi barat dan timur Maicheng. Guan Yu semakin terdesak. Namun ia siap mati. Ketika membunuh tiga orang prajurit lawan sekali sabet, sebuah tubuh terjatuh di sisinya. Guan Yu menoleh pada tubuh yang tumbang itu.
Ia mengenalinya sebagai Guan Ping. Tergolek tak bernyawa dengan darah segar tertumpah ke atas tanah bercampur dengan debu. Hanya helai-helai rambutnya saja yang bergerak-gerak tertiup angin kering.
Namun Guan Yu sudah siap. Ia hanya tidak menyangka Guan Ping akan mendahuluinya. Ia tetap bertahan membuat kekacauan berharap kepungan musuh di sisi barat terus melonggar sehingga kereta kuda dapat membawa putranya yang tidak diinginkannya mati itu selamat.
Anakku, Guan Suo … senang sekali aku bisa mengenalmu sebagai ayah dan anak di saat-saat terakhirku. Sekalipun kebersamaan kita begitu singkat, namun aku sangat bangga padamu.
Kau masih muda, jalanmu masih panjang. Bila ini adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan untukmu sebagai seorang ayah, … dengan senang hati aku akan menyerahkan nyawaku.
Tangan Guan Yu sudah bergemetar dan tidak bisa ia kendalikan lagi. Luka akibat panah beracun di lengannya yang kemarin dioperasi kini terbuka lagi. Guan Yu tanpa sadar menjatuhkan golok Naga Biru di tangannya, berdenting saat besinya menghantam tanah.
Di hadapannya, para musuh dengan bengis menghampirinya dengan pedang terhunus. Membalas kematian ratusan temannya yang dibunuh oleh Guan Yu di saat-saat terakhirnya.
Mereka mengepung Guan Yu dan menyerangnya dari segala penjuru.
Guan Suo …. Tetaplah hidup!
Ketika udara terakhir berhembus keluar dari paru-paru Guan Yu yang robek karena hujaman besi lawan yang dingin, awan hitam secara ajaib berkumpul menyelubungi Maicheng dan hujan deras pun turun.
Di sisi barat, ratusan orang berperang melawan seorang pemuda beringas yang sudah membunuh puluhan orang teman-teman mereka. Ia menangkap tombak-tombak lawan, menghujamkannya dengan sadis ke lawannya yang lain.
Darah… datanglah … muncratlah ke wajahku.
Tak ada yang lebih sedap selain darah lawanku.
Guan Suo tertawa saat ia mengayunkan pedangnya, memotong jari-jari lawan atau membunuh mereka. Tanpa terasa tempatnya berpijak telah berubah menjadi tumpukan mayat.
"Dia tertawa…"
"M, … maniak…"
Namun orang-orang itu terlalu banyak bagi Guan Suo. Ia sudah kelelahan namun menolak untuk berlutut dan terjatuh. Saat para prajurit mengepungnya dan hendak menusuknya, sebuah petir menyambar tempat itu menghanguskan para prajurit.
Dalam kelelahannya, Guan Suo berhalusinasi, melihat ayahnya berdiri di hadapannya dan membunuhi musuh-musuhnya untuk melindunginya. Akhirnya Guan Suo bisa membiarkan dirinya terjatuh dan menutup kedua matanya dalam kelelahan yang menarik semua otot-otot di tubuhnya. Tanpa disadarinya, tubuh-tubuh musuh ambruk menimpanya.
Pemuda itu terkubur di bawah tumpukan mayat musuhnya, terendam darah mereka yang membusuk.
"Jendral! Petir telah menyambar sisi barat Maicheng! Masih ada banyak petir lagi yang berdatangan! Sebaiknya kita segera pergi dari sini!"
Lu Meng setuju. "Baiklah, kita mundur dulu untuk berteduh. Besok kita akan kembali untuk membereskan mayat-mayat teman-teman kita."
Pagi berganti mendung, mendung melahirkan hujan lebat. Hujan menghiasi hari itu sepanjang hari. Saat senja, matahari terbenam, menciptakan sore hari yang merah. Hujan rintik-rintik masih turun di sekitar Maicheng, mencuci bersih tanah yang terendam darah manusia dan darah sang dewa perang yang gugur.
Beberapa prajurit mengais-ais mayat-mayat sisa peperangan, mencari-cari sesuatu yang barangkali masih bisa digunakan.
Di sisi barat Maicheng, sebuah tumpukan mayat bergerak-gerak…
Dan sebuah tangan kekar menyembul keluar dari antara mereka, mengepal erat, menunjukkan dia masih hidup.
Sekuat tenaga, Guan Suo mendorong tumpukan mayat yang menimbunnya itu menggunakan energi yang tersisa. Kelaparan, kedinginan semua ia rasakan bercampur dengan rasa sedih karena kehilangan ayahnya. Ia masih belum percaya, kemarin malam baru saja memakan bubur dari mangkuk yang sama, bercanda, bergurau dan bertukar pikiran… dan kini semuanya itu telah raib. Seakan hidup menyadarkannya dari mimpi indah untuk kembali menghadapi mimpi buruk.
Seorang prajurit melihat Guan Suo berjalan melintasi Maicheng. Belum sempat prajurit itu berteriak memanggil teman-temannya, Guan Suo sudah membelah wajahnya dengan dingin.
Pemuda itu terus berjalan memasuki Maicheng, mencari-cari tubuh ayahnya. Di sana ia menemukan sepasukan musuh sedang berteduh, terkejut melihatnya masih hidup dan berlumuran darah. Para musuh segera menghunus senjata mereka dan mengacungkannya pada Guan Suo.
Tertawa mengejek dan merendahkan mereka, Guan Suo dengan cepat membunuh mereka semua tanpa membiarkan mereka melukainya. Pedang Guan Suo sudah menancap dan tersangkut pada tubuh seorang prajurit yang posturnya kekar. Guan Suo tidak mencabutnya dan menendang wajahnya.
Merasa tidak tenang tanpa senjata, Guan Suo mengambil tombak terlantar yang berada di dekatnya. Dilihatnya masih dalam keadaan baik, Guan Suo mengambilnya. Setelah menelusuri Maicheng dan menyadari tidak ada orang lagi, Guan Suo berjalan keluar dari Maicheng ke sisi Timur.
Tidak jauh dari pintu timur Maicheng, Ia melihat genangan air sisa-sisa hujan tadi siang. Barangkali karena pantulan sinar matahari senja, genangan air itu terlihat seperti genangan darah. Banyak sekali mayat yang bertaburan di sana. Namun tatapan mata Guan Suo berhenti kala ia melihat dua buah tubuh tergeletak berdampingan. Sepertinya mereka tewas karena saling menjaga, dan sedemikian erat ikatan batin mereka, mayat mereka pun terlihat saling menjaga.
Guan Suo menghampiri dua ongok mayat itu dengan mulut terbuka untuk melepas kepenatan yang melanda hatinya. Dengan gontai, ia melangkah semakin mendekat dan akhirnya cukup dekat baginya untuk menyadari bahwa kakak dan ayahnya telah meninggal dunia.
Guan Suo berusaha mengatur nafasnya yang menderu penuh emosi. Lututnya gemetar dan ia mengijinkan dirinya untuk berlutut di hadapan tubuh ayah dan kakaknya.
Dan yang lebih membuatnya menggeram marah bagaikan harimau yang menangis …. Mayat mereka tidak berkepala lagi.
Guan Suo menghirup udara dalam-dalam penuh dendam ….
"LU MENG…!" jerit Guan Suo kepada langit senja yang sunyi.
Di perkemahan Wu, Lu Meng sedang bersenang-senang dengan Lu Xun atas kemenangan mereka. Sun Quan juga menuangkan arak ke gelas kedua anak buahnya yang sukses itu. "Kau lihat tidak bagaimana dia gemetar menghadapi pasukan kita?"
"Tidak disangka ternyata dewa perang pun bisa takhluk dengan mudah dibawah akal anak muda seperti Lu Xun!" puji Lu Meng.
"Ah, semua itu tidak akan berhasil bila tidak ada yang merealisasikannya. Anda juga hebat, Pak Lu Meng." Balas Lu Xun.
Namun mendadak terdengar sebuah keributan dari sisi perkemahan barat pasukan Wu.
"Apa itu?" Sun Quan kebingungan menanti sebuah laporan.
Seorang prajurit datang melapor dengan mata terbelalak seperti baru melihat hantu. "Pak, … aku yakin orang yang berdiri di luar tenda itu adalah Guan Yu! Dia seperti hidup lagi!"
Sun Quan berpandangan dengan Lu Meng dan Lu Xun.
"Kepalanya sudah kupenggal…" Lu Meng melirik pada sebuah kotak kayu di sebelahnya.
"Siapapun itu, sebaiknya kita hadapi." Sun Quan dengan gagah berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar tenda. Setelah ia melihat pemuda yang berdiri sendirian menantang seluruh pasukannya, kedua mata Sun Quan terbelalak melihat sosok yang terlihat mirip dengan Guan Yu.
"Dia telah membunuh Fu Shiren sekali tebas, pak. Kelihatannya dia marah sekali." lapor seorang prajurit.
Pemuda itu berdiri dengan dingin. Tangan kirinya sedang menggenggam kepala Fu Shiren yang telah terpisah dari tubuhnya. Matanya menatap tajam pada Sun Quan, menunggu saat untuk memberi perhitungan. "Siapakah engkau, pemuda? Kenapa kau marah-marah di depan perkemahanku dan membunuh pegawaiku?"
"Maaf, aku hanya membunuh anjing yang menggigit tangan tuannya." Kata Guan Suo sambil melempar kepala Fu Shiren ke tanah kemudian meludahinya.
"Ah .. apakah kau orangnya Guan Yu? Atau anaknya? Aku kenal wajah itu. Kau mirip sekali dengan Guan Yu. Jadi, … kau ingin pengkhianat ayahmu dibunuh? Nak, kau sudah membunuh salah satunya, bila ingin Mi Fang, aku siap untuk memberikannya padamu. Tapi tolong, jangan pelihara dendam di antara kita." Kata Sun Quan.
"Aku juga ingin Lu Meng!" kata Guan Suo dengan marah.
Lu Meng terlihat panik, namun masih mampu mengendalikan penampilannya. Hanya Lu Xun yang mampu melihat kepanikan Lu Meng.
"Maaf, aku hanya bisa menyerahkanmu kepala pengkhianat saja, bagaimanapun, mereka anak buahku, kami saling melindungi." Kata Sun Quan.
"Kalau begitu biar kuambil sendiri kepala pengecut itu!" Guan Suo hendak maju sambil mengacungkan senjata. Para prajurit segera bergerak merapat untuk melindungi Sun Quan.
"Tahan!" seru seorang pemuda dari kerumunan perkemahan Wu. Lu Xun kemudian memberi hormat pada Sun Quan. "Izinkan aku menyelesaikan ini."
Sun Quan menatap Guan Suo dengan resah, kemudian memandang Lu Xun lagi dengan khawatir. "Kau menantu kakakku. Jangan sampai membahayakan dirimu."
Lu Xun tersenyum. "Harap singkirkan rasa khawatir anda."
Kerumunan prajurit di hadapan Guan Suo terbuka dan muncullah seorang pemuda tampan dengan sorot mata cerdas di hadapan Guan Suo. Pemuda itu memberi salam dengan sopan pada Guan Suo. "Salam kenal, namaku Lu Xun. Bisa dibilang, aku lah yang bertanggung jawab atas semua yang menimpa keluargamu."
Pupil mata Guan Suo bereaksi dan tubuhnya bergemetar sesaat mendengar ucapan Lu Xun.
"Aku paham kemarahan dan dendammu, tapi harap menerima bahwa inilah perang. Ada yang harus mati, ada yang selamat. Jendral Guan telah terkepung rapat dan aku sungguh kagum dalam keadaan terjepit ia masih mampu membunuh ratusan prajurit kami seperti itu. Sungguh luar biasa.
Tapi bagi kami, dia harus mati, karena dia cukup berbahaya bila dibiarkan hidup. Dapat kulihat kau selamat dan dalam beberapa jam kau kembali lagi kemari. Aku merasakan … ayahmu ingin kau hidup. Kenapa kau tidak menghormati keinginannya dan kembali ke rumahmu untuk hidup damai?"
"Aku bukan orang cerdas atau berpendidikan. Aku tidak paham dengan ucapanmu yang berbelit-belit itu. Aku ingin Lu Meng. Berikan dia padaku!" kata Guan Suo.
"Lu Meng adalah jendral besar kami. Tentunya ia sangat pandai berkelahi dan menghadapi bocah sepertimu tidak akan menyulitkan dia. Bila kau tidak bisa melangkahiku, … kau juga tidak bisa membalaskan sakit hatimu dan ayahmu." Kata Lu Xun sambil menghunus pisau kembarnya.
Guan Suo pun bersiap untuk melawan Lu Xun.
Para prajurit bersiap-siap menyaksikan pertarungan ini.
Sun Quan membisiki komandan-komandannya. "Siapkan panah. Bila bocah itu membunuh Lu Xun, kita akan segera bunuh dia seperti kita membunuh ayahnya."
Lu Xun kemudian berkata pada Sun Quan. "Yang Mulia, bila hamba mati, biarkanlah dia untuk bertemu dengan Lu Meng. Ia datang kemari sebagai ksatria, kita sebagai bangsa terhormat, wajib juga untuk melayaninya dengan ksatria."
Sun Quan menghela nafas. "Oke."
Kemudian pemimpin Wu itu membatalkan siasatnya. Menyisakan Lu Meng yang kini harap-harap cemas karena dia sesungguhnya tidak terlalu pandai berkelahi seperti yang dikatakan Lu Xun.
Duel segera berlangsung antara Guan Suo melawan Lu Xun. Kedua orang pemuda itu saling serang dengan berani dan membuktikan kepiawaian mereka dalam berperang.
Setelah bertukar beberapa jurus, Lu Xun melompat mundur. Guan Suo mendapatkan oleh-oleh berupa sayatan pedang di pipinya, sementara Lu Xun pakaiannya robek. Bila ia terlambat menghindar tadi, pasti ususnya sudah berhamburan di tanah.
"Kau lumayan juga. Siapa namamu?"
Guan Suo diam saja.
"Baiklah, anak dewa perang, siapapun kamu, gerakanmu sangat liar dan brutal, tidak perduli pada nyawamu sendiri. Sebenarnya aku bisa memenggalmu beberapa kali tadi bila aku mau. Tapi aku tertarik untuk berduel lagi denganmu di kesempatan lain. Bagaimana bila kau mundur dulu sekarang, perbaiki lagi kung-fu mu dan kembali lagi bila kau siap?"
"Kau memang banyak bicara rupanya." Guan Suo kembali menyerang Lu Xun.
Lu Xun hanya tertawa mendengar ucapan Guan Suo sambil terus menghindar. "Oops bolong lagi. Kematian ketigamu."
Guan Suo menendang Lu Xun yang ada di belakangnya tepat di mulut sehingga Lu Xun mundur beberapa langkah dengan bibir yang ternoda oleh lumpur dari kaki Guan Suo.
Begitu melihat ke depan, Guan Suo sudah menghujamkan tombak dengan kuat ke wajahnya. Lu Xun menghindar dengan cepat. Kali ini diakuinya, ia nyaris celaka. Lu Xun berkelit ke belakang Guan Suo dan menempelkan belatinya ke leher Guan Suo bagian belakang. "Kematian keempat."
Guan Suo dengan cepat berbalik sambil menghajar Lu Xun. Ia memutar tongkatnya dan menyerang. Menusuk dan menghujam, namun Lu Xun terlalu lincah untuknya dan setiap salah gerakan, Lu Xun selalu berhasil menodong lehernya dengan pisau.
Hingga akhirnya…. "Kematian ke lima. Kau payah sekali…"
Guan Suo tersulut amarah dan menerjang Lu Xun sambil berteriak garang. Lu Xun menghindari Guan Suo sehingga orang itu menabrak kendi dan pecah.
Guan Suo mengangkat kendi itu dan melemparnya pada Lu Xun. Lu Xun mendekat lagi untuk memberikan kematian ke enam …
Guan Suo sudah siap. Ia sudah tahu kecepatan Lu Xun dan menangkap wajahnya. Tanpa membuang waktu atau berbelas kasih, Guan Suo mengayunkan wajahnya menghantam sebuah kereta kuda dari atas ke bawah. Tubuh Lu Xun terhempas keras pada kereta kuda itu hingga tulang punggungnya remuk dan tidak bisa berdiri lagi.
Lu Meng yang ketakutan segera menyerang Guan Suo dari belakang tepat mengenai kepalanya. Guan Suo jatuh ke tanah dengan kepala berlumuran darah.
"Lu Meng! Kenapa kau serang dia dari belakang!"
"Kau tahu aku tidak bisa berkelahi, kau mau aku mati?" bentak Lu Meng pada temannya.
Lu Meng kemudian menarik kepala Guan Suo dan menghunus pedang. "Ku penggal kau."
Mendadak kepala Lu Meng pun dipukul dari belakang oleh seseorang. Sun Quan kemudian menghela nafas. "Bukan begitu caranya, Lu Meng."
Sementara Lu Meng jatuh pingsan dan Lu Xun tidak bisa bergerak karena tulang punggung yang remuk, Sun Quan memeriksa tubuh Guan Suo. "Dia masih hidup. Menurutmu bagaimana?"
"Sebenarnya … kalau menyingkirkan idealisme pahlawan, aku setuju dengan Lu Meng. Bila dibiarkan hidup,….. dia bisa menjadi ancaman kita. Ia memiliki dendam terhadap Wu… Mengingat ayahnya, sudah pasti dia tidak mungkin mau berpihak pada kita… Kurasa sebaiknya…. kita bunuh dia selagi bisa." Kata Lu Xun sambil menahan rasa sakit yang dirasakannya.
Sun Quan mengangguk-angguk. Kemudian ia berdiri sambil memerintahkan anak buahnya. "Potong kepalanya, buang ke sungai."
Mereka menyeret Guan Suo ke sungai terdekat, kemudian di tepi sungai, mereka membuatnya berlutut dan menarik rambutnya. Seorang prajurit siap dengan pedang di tangannya untuk memisahkan kepala Guan Suo dengan tubuhnya.
Guan Suo berada antara sadar dan tidak sadar.
"Guan Suo … tetaplah hidup!"
Dan cahaya itu mendekatinya ….
Seketika Guan Suo mengerahkankan sebuah kekuatan entah dari mana asalnya dan segera menghindari bacokan pedang dari algojo. Ia melempar dua orang yang sedang memegangi tangannya ke dalam sungai yang deras. Guan Suo menangkap prajurit dengan pedang dan merebut pedangnya. Diambilnya pedang itu dan dibunuhnya si algojo.
"Hei, hei! Dia kabur! Dia kabur!" seru para prajurit yang melihatnya dari kejauhan.
Terjun ke sungai deras pada malam hari bukanlah ide baik, Guan Suo terus berlari ke arah timur sambil menghindari para prajurit yang memanahnya dari kejauhan. Hingga akhirnya sebatang panah melesat dan menancap pada bahu kirinya, Guan Suo menceburkan diri ke sungai yang deras.
Ia tidak berusaha berenang. Mengepalkan tangannya dengan penuh dendam.
Perlahan ia menutup matanya dan membiarkan dirinya beristirahat. Menyerahkan hidupnya pada takdir. Apakah air sungai ini akan membunuhnya atau melahirkannya kembali.
Sumber
02.35 |
Category: |
0
komentar
Comments (0)