Sinar matahari yang hangat masuk lewat jendela. Perlahan Guan Suo membuka matanya dan mendapatkan dirinya sedang berada di sebuah rumah sederhana. Barangkali milik seorang petani. Beberapa perkakas di rumah itu memiliki ornamen bergambar bunga. Tampaknya pemilik rumah itu sangat menyukai bunga.

Guan Suo mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya. Ia melihat luka-lukanya sudah terbalut rapih dan tubuhnya yang bersimbah darah sudah bersih. Setelah ia memperhatikan sekali lagi, disadarinya bahwa seseorang pasti telah mengganti pakaiannya.

Selagi dia kebingungan siapa yang telah menolongnya, seseorang masuk melalui pintu.

"Akhirnya kau bangun juga." kata seorang lelaki kekar dengan rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya.

Guan Suo kini tersadar sepenuhnya. "Anda yang menolongku?"

"Bukan. Aku ingin membunuhmu." Katanya sambil melipat tangan di depan dadanya. "Adikku yang menolongmu. Bila kau ingin berterima kasih, berterima kasihlah padanya."

"Pasti. Mana pakaianku?"

"Kujual."

Lagi-lagi Guan Suo terdiam menatap orang itu.

"Tapi tidak laku." Lelaki itu kemudian melemparkan buntalan yang sedang digendongnya. Guan Suo menangkapnya dan membukanya. Isinya tidak lain adalah pakaiannya yang sudah robek.

"Pakaianmu sudah dipenuhi darah dan banyak sayatan. Apakah kau seorang pelarian perang?"

Guan Suo tidak berniat menjawabnya, ia hanya menatap lelaki itu saja sambil mengenakan kembali pakaiannya. Ternyata memang benar sudah sobek dan tidak layak pakai. Hanya tersisa pakaian pelindungnya saja. Itupun sudah cacat di beberapa bagian akibat serangan ujung belati musuh. Namun ia mengenakannya juga dan membuang bagian yang sudah sobek.

Guan Suo menggerakan kedua tungkainya. Kelihatannya baik-baik saja. Ia mencoba untuk berdiri, tidak ada bagian tubuhnya yang terlalu sakit sehingga bisa menghalanginya untuk berjalan.

"Adikku sedang membeli sayuran, ia akan segera kembali, kau tidak perlu menyusulnya."

"Aku tidak mencari adikmu." Kata Guan Suo sambil berlalu, berjalan pergi meninggalkan pondok kecil itu. Di depan gubuk, ia melihat ada sebuah golok yang biasanya digunakan untuk membelah kayu bakar. Pada pangkalnya terlihat bercak-bercak karat memberitahukan pada setiap orang berapa usianya.

Saat lelaki kekar itu keluar dari gubuknya untuk menghampiri Guan Suo, Guan Suo yang sedang menggenggamnya itu berkata "Aku minta golokmu."

Tentu saja lelaki itu marah. "Kurang ajar! Kau tidak tahu diri sekali, sudah ditolong, dirawat, tapi mau juga merampas harta bendaku!"

Guan Suo tidak mengabaikan gertakan orang itu, mencoba mengayunkan golok itu. Kemudian ia melayangkannya ke leher lelaki itu. Guan Suo tidak berniat untuk membunuhnya, hanya ingin balas menggertak saja, namun ternyata orang itu memiliki kepandaian ilmu silat, sehingga ia bisa menangkis serangan Guan Suo dan membekuknya. Gerakan lelaki itu begitu halus dan berpengalaman, setelah dilemparkan ke seberang, tanpa disadari Guan Suo, golok ditangannya telah berpindah ke tangan lelaki itu.

Lelaki itu ganti menodongkan goloknya ke leher Guan Suo. "Kau benar-benar penjahat rupanya … mau membunuhku juga..?"

Guan Suo dengan cepat menampik tangan lelaki itu. Lelaki itu berputar untuk menendang Guan Suo. Namun Guan Suo menghindari tendangan itu dan mencengkram kerah pakaiannya, dengan cepat membanting musuhnya hingga jatuh ke atas tanah. Guan Suo menahan tangan musuhnya yang menggenggam golok dan mendudukinya lalu mencekik lehernya.

"Kalau tidak boleh, ya sudah." Guan Suo berdiri dan melanjutkan perjalanannya ke arah timur.

Sepanjang jalan ke timur, ucapan Lu Xun kembali menghantui benaknya.

"Sebenarnya aku bisa memenggalmu beberapa kali tadi bila aku mau."

"Perbaiki lagi kung-fu mu dan kembali lagi bila kau siap."

Pada sebuah jalan setapak, ia melihat seorang gadis muda sedang dikejar-kejar sekelompok bandit gunung. Orang di sekitarnya tidak ada yang berani menolong gadis yang sedang dikerjai itu.

Ketika Guan Suo berjalan mendekat, gadis itu tampaknya mengenalinya. Namun salah satu perampok itu menariknya dan mereka tertawa-tawa lagi.

"Maafkan aku, tuan, lain kali aku tidak akan lupa lagi bawa uang keamanan…" gadis itu mulai menangis.

"Maaf yah, urusan besok untuk besok. Apa yang ada hari ini adalah masalah yang sesungguhnya." Perompak itu hendak melukai gadis malang tersebut dengan goloknya.

Melihat air mata yang menetes, Guan Suo jadi teringat saat Xing Cai menangis dalam pelukannya. Hatinya pun tergerak untuk menolong perempuan malang itu. Ia segera menarik lengan perompak yang hendak membacok gadis itu.

"Hei?" tentu saja perompak itu tidak terima dan membentak Guan Suo.

"Dia bilang, dia akan bayar lain kali." Kata Guan Suo.

"Siapa kau ha? Pahlawan kesiangan?"

"Kelihatannya dia hanya gembel. Lihatlah. Tubuhnya penuh dengan luka sayat yang belum mengering, pakaiannya compang camping. Jangan-jangan dia pelarian tahanan." Kata perampok yang lain.

"Pergi kau bocah!" kata perampok itu sambil meludahi wajah Guan Suo.

Melihat pemuda yang diludahi itu hanya diam, perampok lainnya juga ikut meludahi Guan Suo sambil tertawa. Ada yang kena wajah, badan, kaki, dan akhirnya saat mereka ketagihan mengintimidasi Guan Suo, mulai main tangan, Guan Suo menangkap tangan seorang perampok itu, kemudian mencekik lehernya. Guan Suo menarik wajahnya mendekat dan meludahi wajahnya.

Sementara perampok itu berteriak perih karena air ludah itu tepat mengenai bola matanya, Guan Suo melemparnya ke sawah berlumpur dan menangkap lengan perampok lain yang berusaha membunuhnya dengan menggunakan golok. Guan Suo berkelit dan kembali menangkap leher orang itu dan meludahinya lagi di wajah dan membuangnya ke sawah kubangan tahi kerbau.

Orang terakhir juga menyerangnya, namun seperti dua teman sebelumnya, ia bukan masalah besar untuk diselesaikan.

Setelah memilih salah satu golok yang menurutnya paling bagus, Guan Suo berjalan menuju wadah air dan mencuci wajahnya yang masih ternoda air ludah si rampok. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya begitu saja ke arah timur.

Para rakyat jelata yang menonton kejadian tersebut merasa takjub. "Hei, bukankah dia orang yang kau tolong dari sungai itu?"

Gadis itu akhirnya berdiri dan mengejar Guan Suo. "Tuan, tunggu dulu, anda masih terluka, belum bisa berjalan jauh."

Guan Suo tidak memperdulikan gadis itu hingga mereka akan memasuki hutan, Guan Suo berkata padanya. "Pulang sana."

Gadis itu pun berhenti mengikutinya. Di dalam hutan, seekor ular yang merasa terusik sarangnya mulai menyerang Guan Suo. Beruntung ia bisa melihat serangan ular itu, Guan Suo secara refleks mengayunkan pedangnya membelah kepala ular itu menjadi dua bagian. Tanpa terasa, hari sudah hampir gelap, Guan Suo menemukan areal yang bagus untuk mendirikan api unggun. Ia mulai membuat api dan membakar ular yang tadi dibunuhnya.

Setelah kenyang, pemuda itu tidur-tiduran di atas dedaunan kering.

Dalam lamunan itu, masih teringat akan beberapa malam lalu, dimana ia berbagi semangkuk bubur dengan ayahnya sambil bergurau.

"Menang atau kalah tidak masalah. Yang penting bagaimana kau melakukannya."

Guan Suo memejamkan kedua matanya dengan perih saat kemudian bayangan kakaknya, Guan Ping mulai terbesit dalam kenangannya. Selama ini Guan Ping lah yang selalu mendukungnya dan melindunginya. Ketika ia melakukan sesuatu yang tidak bisa dipahami ayahnya, Guan Ping selalu ada untuk membuat ayahnya maklum akan perbuatannya. Namun ia selalu memalingkan wajahnya dari sang kakak. Hingga saat terakhirpun, ia tidak juga menganggapnya sebagai kakak.

Aku hanya iri ..

Ia anak angkat tapi begitu diperdulikan dan dianggap …

Sedangkan aku sebagai darah dagingnya sendiri tidak dianggap ada. Eksistensiku sama sekali tidak tercatat dalam silsilah keluarga Guan sementara Guan Ping jelas tercatat.

Iri hatiku telah membuatku buta dan menyesal …

Timbul penyesalan yang dalam pada hati Guan Suo. Dalam hatinya timbul keinginan untuk mencari istri dan anak Guan Ping. Berbakti pada mereka sebagai ganti baktinya pada Guan Ping yang tidak sempat ia laksanakan.

Sementara ia memejamkan matanya berusaha untuk beristirahat, indera pendengarannya menangkap sebuah suara halus dari belakang. Langkah halus itu terasa semakin mendekat, Guan Suo mampu merasakan langkah tersebut menghampirinya dan …

Dengan gerakan cepat, Guan Suo menyambar goloknya dan menodong sesosok yang sudah berdiri di dekatnya. Ketika dilihatnya wajah tersebut cukup familiar, Guan Suo mengurungkan niatnya untuk membunuhnya.

"Santai. Ini aku." Kata lelaki itu.

"Mau apa malam-malam mencariku?"

"Ya, benar. Aku mencarimu, bukan berniat buruk padamu. Sekarang turunkan golok itu dan kita bicara layaknya teman. Bisa?"

Guan Suo menurunkan goloknya dan duduk pada batangan pohon yang sudah berjamur lalu dengan sabar menunggu lelaki itu mulai bicara. Lelaki itu pun mencari tempat enak untuk duduk.

"Hmm… pertama-tama … aku ucapkan terima kasih karena telah menolong adikku." Katanya dengan gelisah. "Kemudian … hmm … sebagai permintaan maaf atas kelakuan kasarku padamu, bagaimana bila kau kuajari silat?"

"Aku tidak bisa belajar silat."

"Kau kuat, cepat dan berbakat. Aku bisa melihat bahwa kau tidak pernah berlatih silat secara khusus sebelumnya. Tapi kau bisa berkelahi. Apa itu namanya bila bukan bakat?" bujuk orang itu.

"Ayahku tidak belajar silat. Aku juga tidak belajar silat. Kami tidak bisa belajar silat." Kata Guan Suo dengan tenang. Saat ia kecil, Guan Ping memang pernah mengajarinya cara bermain pedang atau tongkat. Namun Guan Suo kelihatannya mengalami kesulitan dalam menerima instruksi dan mengikuti gerakan Guan Ping. Walau begitu, ia bisa berkelahi.

"Kau berbakat. Tapi saat kau berkelahi, kau tidak memperdulikan keselamatanmu sendiri. Ibarat tentara, kau adalah seorang prajurit dengan senjata tajam namun tidak menggunakan pakaian pelindung. Kau bertarung bergantung pada keberuntungan."

Merasa obrolan ini semakin mendalam, Guan Suo merasa tidak nyaman. Ia cepat-cepat menyelesaikannya. "Menurutku kau tidak perlu membalas apa yang kulakukan pada adikmu. Bukankah katamu adikmu telah menyelamatkan nyawaku juga? Anggap saja kita impas."

"Berbuat baik demi orang lain itu kewajiban. Namun menerima kebaikan dari orang lain itu laksana hutang. Tapi kalaupun kau terus menolak tawaranku, aku tetap ingin menjadi temanmu. Namaku Zhang Feng. Selama ini aku-lah yang menjaga desa itu dari kawanan perampok gunung." Zhang Feng akhirnya memperkenalkan dirinya.

"Aku Guan Suo dari Jing." Balas Guan Suo dengan singkat.

"Aku sengaja bawakan minuman hangat ini untuk kita berdua. Ayo minum bersamaku." Kata Zhang Feng sambil menyerahkan botol minuman yang tergantung di pinggangnya.

Namun Guan Suo menolak. "Maaf, aku tidak suka minuman seperti itu."

"Tidak masalah. Aku bisa minum sendiri." Zhang Feng kemudian menikmati minuman itu sendirian. "Sekarang, kenapa tidak kau ceritakan darimana kau berasal, siapa ayahmu, kemana kau akan pergi?"

"Kurasa tidak penting. Kita takkan bertemu lagi setelah malam ini. Kalau kau ingin sebuah percakapan, kau saja yang cerita mengenai hal yang ingin kau ceritakan."

"Pergi?" Zhang Feng menutup botol minumannya dan menggantungkannya kembali. "Setelah menghajar tiga orang anak buah Bao, kau masih mau pergi meninggalkan tempat ini begitu saja? Maaf, aku tidak bisa membiarkanmu pergi."

Memperhatikan ucapan Zhang Feng, mengertilah Guan Suo bahwa ketiga orang bandit itu memiliki bos. Dan seorang bos pastinya tidak akan tinggal diam melihat anak buah mereka dihajar seseorang. Kenapa seorang penjahat enggan mencelakakan polisi? Karena bila satu polisi celaka, penjahat itu akan diburu. Begitu pula dengan bandit. Bila salah seorang bandit celaka, seorang bos bandit harus cepat-cepat memberi pelajaran pada orang kurang ajar itu, atau pamornya akan turun dan masyarakat tidak akan patuh lagi padanya.

"Aku mengerti. Ceritakan padaku mengenai Bao ini."

"Awalnya Bao Yuanwai adalah guru silat di desa ini. Aku ini muridnya. Tapi setelah ia meninggal dunia, anak ketiganya memberontak dan salah pergaulan sehingga menjadi ketua bandit. Mereka sering sekali mengacau. Aku sendiri tidak berani macam-macam karena takut dikeroyok. Apalagi Bao Sanniang sangat pandai bermain tombak. Banyak orang yang menantangnya duel, pasti kalah dan tangannya dibuat cacat sehingga tidak bisa berkelahi lagi." kata Zhang Feng. "Kau pikir kau bisa mengalahkannya?"

"Kau sendiri?"

Zhang Feng kelihatannya sedikit tersipu, bahkan ia tersenyum. "Ah, aku mana mungkin bisa mengalahkan dia. Kalau aku bisa, sudah pasti aku hidup bahagia sekarang."

"Kau tahu dimana markas mereka?"

"Tahu. Ada di puncak gunung ini. Kita akan ke sana besok. Kau harus bertanggung jawab atau para rampok itu akan menindas desa kami lebih kejam lagi." kata Zhang Feng.

Guan Suo merebahkan tubuhnya, memejamkan mata dan mencoba untuk beristirahat. Demikian pula dengan Zhang Feng yang ternyata tidurnya cepat nyenyak. Belum apa-apa dia sudah mendengkur. Beberapa nyamuk menghisap darahnya, namun tidak mampu membangunkannya. Zhang Feng hanya menepuk mereka saja, tangannya seperti bergerak sendiri dalam tidur.

Sementara itu di markas bandit Bao Sanniang …

"Dia masih muda. Di sekujur tubuhnya terdapat banyak bekas luka yang masih basah. Ia mengenakan pakaian perang, sepertinya ia prajurit yang kemarin berperang di Maicheng." Kata seorang perampok sambil menunduk ketakutan, tidak berani menatap pimpinan mereka.

Bao Sanniang terlihat marah sekali. "Kalian membiarkan orang itu meludahi wajah kalian dan melemparkan kalian ke kubangan kotoran sapi?"

"Kami bisa apa? Tenaganya besar dan gerakannya cepat sekali."

"Omong kosong! Beberapa waktu lalu juga ada seorang pengembara yang melewati desa itu dan mempecundangi anak buahku. Setelah kuhadapi orang itu, ternyata kemampuannya biasa-biasa saja. Ini berarti kalian kurang latihan! Hukuman untuk kalian sekarang, lakukan push up 200 kali!"

Ketiga orang itu segera menjalani hukuman mereka tanpa banyak bicara lagi.

"Besok kirim orang untuk ke desa dan mencari orang itu. Culik seorang gadis dan sandera dia di sini hingga orang itu muncul. Biar kuberi pelajaran dia!" kata Bao Sanniang dengan geram.

Di pagi hari, menjelang siang, para bandit menunggangi kuda mereka dan pergi ke desa untuk melaksanakan tugas mereka. Sementara menunggu anak buahnya tiba, Bao Sanniang melampiaskan rasa kesalnya dengan cara menghajar boneka-boneka jerami yang biasa digunakan untuk latihan.

Seorang lelaki gagah menghampirinya. "Boneka jerami tidak bisa membalas. Biar aku saja yang menjadi lawan sparingmu."

"Aku tidak akan ragu membunuhmu. Aku sedang kesal saat ini."

Lelaki itu tersenyum dan merayunya. "Kau boleh cabut nyawaku, karena kau telah terlebih dahulu mencabut nafasku…"

Bao Sanniang dengan marah menodongkan tombaknya ke leher lelaki itu. "Gao Yuan! Hentikan ucapan-ucapan menjijikkanmu itu!"

Gao Yuan menangkis tombak itu dan duel di antara mereka pun dimulai. Gao Yuan menyerang dan bertahan, Bao Sanniang terlihat begitu emosi. Namun ilmu silat Bao Sanniang memang terlihat jauh melampaui Gao Yuan sehingga akhirnya Gao Yuan terlihat terdesak.

Di kejauhan, dua orang anak buah Bao duduk-duduk santai sambil menonton duel mereka. "Gao Yuan tidak pernah menyerah untuk mendapatkan bos."

"Dia bodoh sekali. Sudah puluhan lelaki berusaha menjadi suami bos, tapi tidak ada yang bisa mengalahkannya sampai sekarang. Dan para lelaki itu jauh lebih hebat dari Gao Yuan. Tapi orang itu tetap saja bandel. Kurasa cinta memang buta."

Akhirnya Gao Yuan tertendang begitu keras sehingga ia menabrak sebuah boneka jerami hingga patah. Gao Yuan memuncratkan darah dari mulutnya dan tergeletak seperti orang mati.

Melihat itu, Bao Sanniang segera melempar tombaknya ke lantai dan menghampiri Gao Yuan. "Hei, Gao Yuan, kau tidak bercanda, kan? Bangunlah!"

Gao Yuan tidak bangun juga. Bao Sanniang terlihat sangat khawatir dan berusaha membangunkannya. "Xing Fu! Lao Yue! Ada yang terluka di sini!"

Kemudian Xing Fu dan Lao Yue pun mendatangi mereka dan memeriksa Gao Yuan. Setelah itu mereka berdua menggeleng pesimis. "Maaf, bos, dia sudah mati…"

Bao Sanniang mendadak merasa begitu bersalah, ia terduduk lemas begitu saja di atas tanah, menyesali kemarahannya yang telah membuat anak buahnya tewas di tangannya sendiri.

Lao Yue menangis. "Semalam Gao Yuan berkata pada kami … dia sangat mencintai bos, dan dia rela melakukan apapun agar bos bahagia. Bila kematiannya bisa membuat bos bahagia, dia pasti juga bahagia…"

Bao Sanniang merasakan emosinya tersulut. Kemudian ia menghampiri Gao Yuan. "Tidak mungkin dia mati! Aku tidak memukulnya dengan keras! Tidak mungkin dia mati!"

Bao Sanniang mengguncang-guncang tubuh Gao Yuan. "Gao Yuan, bangunlah..!"

Ketika Bao Sanniang mulai menangis, mendadak Gao Yuan membuka matanya dan segera mengambil kesempatan mencium bibir Bao Sanniang. Sadarlah Bao Sanniang bahwa ia sedang dipermainkan oleh anak buahnya.

Bao Sanniang mendorong Gao Yuan dan meludah lalu membersihkan bibirnya dengan jijik, melihat Gao Yuan, Lao Yue dan Xing Fu mentertawakannya.

"Kurang ajar! Kalian berani main-main denganku?" Bao Sanniang marah-marah.

Xing Fu dan Lao Yue langsung terdiam dan kalem, sementara Gao Yuan langsung berlutut di kaki Bao Sanniang. "Bos, aku mencintaimu, aku sudah mengikutimu selama bertahun-tahun dan aku menyadari aku semakin jatuh cinta padamu. Bila membutuhkan waktu ribuan tahun untuk mengalahkanmu, aku akan hidup selama itu! Kumohon jujurlah pada hatimu dan terimalah cintaku! Aku tahu kau juga mencintaiku..!"

"Aku tidak mungkin hidup ribuan tahun, bodoh!" Bao Sanniang menendang Gao Yuan dengan keras. "Kurang ajar kalian! Cepat push up ribuan kali!"

Dan seorang bandit berseru pada Bao Sanniang. "Bos! Ada dua orang pemuda dari desa yang datang menghampiri kita!"

"Pemuda desa?"

"Mereka mencarimu, bos, kelihatannya mereka hendak menantang berkelahi!"

"Bos, jangan-jangan itu orang yang kemarin menghajar Shao Han, Yue Ji dan Jin Chao!" kata Lao Yue.

"Sebaiknya itu memang mereka!" Bao Sanniang dengan kecepatan kilat segera menghajar apapun yang ada di dekatnya dengan pedang yang terhunus. Rupanya mengenai sebuah tiang markasnya. Tiang tersebut terbelah berkat ketajaman pedang itu sehingga atap bangunan markasnya menjadi miring sedikit.

Anak buahnya panik, mengira atap akan benar-benar roboh. "Wah…bos kalau marah memang tidak kira-kira…!"

Bao Sanniang segera keluar dari markasnya dan mendapati dua orang pemuda sedang berdiri dengan pedang pada pinggang mereka.

"Ah, rupanya Zhang Feng. Kau pengecut, mau apa datang kemari?"

Zhang Feng tersenyum. "Bao Sanniang. Aku hendak menakhlukkanmu."

"Kau sudah kukalahkan berkali-kali sejak kita masih kecil!" kata Bao Sanniang dengan senyum meremehkan.

"Tapi kau belum mengalahkan hatiku." Kata Zhang Feng sambil menghunus pedangnya.

Bao Sanniang menjadi lelah dengan semua ini. "Aku akan membunuhmu kali ini!"

"Kau bisa membunuhku, tapi kau takkan bisa membunuh perasaanku padamu!" kata Zhang Feng.

Guan Suo kebingungan dengan kalimat-kalimat Zhang Feng. "Apa?" Lalu dia menarik Zhang Feng. "Hei, bukankah kita datang kemari untuk membunuhnya?"

Zhang Feng tersenyum dengan penuh semangat. "Kapan aku bilang begitu?"

Zhang Feng mendorong Guan Suo sambil menatap Bao Sanniang lekat-lekat. "Cintaku, … perasaanku padamu tidak lekang oleh waktu. Aku tetap orang yang sama seperti terakhir kali kau meninggalkan desa, dan aku percaya, kau terpaksa harus menjadi seperti ini. Biarkan aku membebaskanmu!"

"Kenapa lelaki selalu mengucapkan kalimat menjijikkan?" Bao Sanniang lalu menyerang Zhang Feng dengan pedangnya. Gerakannya bagaikan angin puyuh kecil yang sedang menari. Sangat indah. Bao Sanniang mungkin tidak sekuat lelaki, namun ia sangat waspada dan cepat. Ini yang membuatnya tak terkalahkan selama ini.

Zhang Feng bisa dibilang adalah lawan seimbang bagi Bao Sanniang. Ia tidak bersungguh-sungguh menyerang lawannya dan inilah yang membuatnya terdesak.

Saat kedua pedang mereka beradu, Zhang Feng melamarnya. "Bao Sanniang, menikahlah denganku!"

"Pergi!" dengan marah Bao Sanniang menendang Zhang Feng. Zhang Feng tidak menyerah dan kembali menghampiri Bao Sanniang. "Kita akan hidup bahagia, memiliki tiga orang anak, kita akan menamai mereka Zhang Cao, Zhang Liu dan Zhang Sun! Mereka akan menjadi tiga orang anak paling bahagia di dunia ini!"

"Enyahhh!" Bao Sanniang menendang wajah Zhang Feng. Zhang Feng masih tidak menyerah. Kemudian ia kembali mendekati Bao Sanniang dan gerakan mereka akhirnya menjadi seperti dua orang yang sedang menari. Sementara Bao Sanniang terpana, Zhang Feng membelai pipinya. "Aku akan mencintaimu selamanya!"

"Menjijikkan!" Bao Sanniang menendang Zhang Feng, kemudian menusuknya dengan pedang.

Trankk…!

Dua bilah pedang terbelah dua mendarat di permukaan tanah. Kejadian begitu cepat, Bao Sanniang tidak melihat Guan Suo membelah pedangnya sebelum pedang itu menusuk jantung Zhang Feng. Pedang mereka berdua sama-sama patah dan terjatuh di tanah.

Namun patahan pedang Bao Sanniang lebih panjang daripada patahan pedang Guan Suo. Bao Sanniang mengangkat pedangnya dan mengacungkannya ke leher Guan Suo. "Satu orang lagi yang datang untuk melamarku?"

"Bandit, aku bahkan tidak tahu bahwa kau wanita." Kata Guan Suo.

Dengan gerakan mendadak secara tiba-tiba, Guan Suo berputar dan menghajar tangan Bao Sanniang. Hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Guan Suo masih terus mendesak Bao Sanniang. Dengan serius Guan Suo menendang dan memukul Bao Sanniang yang terpaksa harus bertahan dari serangan bertubi-tubi itu.

Akhirnya setelah melihat sebuah celah dari gerakan Guan Suo, Bao Sanniang memasuki celah itu, membuatnya berada di balik punggung Guan Suo. Saat ia hendak membacok Guan Suo, Guan Suo sudah berbalik dan menangkap tangannya dari bawah, kemudian memutar tubuhnya sambil menekuk tangannya. Kemudian merapatkan punggung Bao Sanniang ke dadanya.

Kini telinga Bao Sanniang berada dekat sekali dengan bibir Guan Suo. Guan Suo berkata dengan dingin. "Sejak zaman dahulu ayahku naik turun gunung, ia sering dengar banyak nama pendekar hebat. Tapi tak pernah sekalipun ia bercerita tentang Bao Sanniang."

Tersinggung dengan ucapan itu, Bao Sanniang berusaha melepaskan diri. Ia menjepit kaki Guan Suo dan menariknya ke depan, membuat pemuda itu tergelincir dan pegangannya terhadap Bao Sanniang terlepas. Bao Sanniang maju dan menyerang Guan Suo. Guan Suo berusaha bertahan sebisa mungkin.

Terlihat jelas bahwa orang ini tidak terlatih ilmu silat manapun. Gerakannya tidak seluwes orang-orang yang belajar kung-fu. Tapi dia mampu membaca kecepatan gerakan Bao Sanniang dan menanganinya dengan baik. Sesekali pukulan Bao Sanniang menghajar wajahnya, namun pertahanan Guan Suo tidak runtuh.

Dua orang pemuda-pemudi yang saling berusaha untuk melumpuhkan lawan masing-masing itu bertempur penuh konsentrasi. Semakin lama, Guan Suo terlihat semakin melunak karena ia semakin tidak tega menghajar Bao Sanniang. Namun ketika Bao Sanniang sudah kelelahan, Guan Suo masih tegar. Penasaran tidak berhasil membuat orang ini bertekuk lutut, Bao Sanniang pun semakin memaksakan kekuatannya.

Namun kehabisan energi sungguh menyebalkan. Guan Suo berhasil mengendalikannya dan membuatnya berguling di atas tanah, lalu menodong lehernya dengan pedang yang digunakan Bao Sanniang. Entah kapan orang itu merebutnya dari tangan pemiliknya.

"Kematian pertama."

Bao Sanniang bangkit dengan kesal dan Guan Suo melangkah mundur sambil mengembalikan pedang yang sudah patah itu pada pemiliknya. Bao Sanniang kembali menyerang dengan gerakan lebih cepat. Akhirnya konsentrasinya semakin menurun sehingga Guan Suo sekali lagi berhasil meraih tangannya lalu mengulurnya dan menariknya ke dalam pelukan sambil menodong lehernya dengan pedang yang masih digenggam Bao Sanniang.

"Kematian kedua."

Bao Sanniang masih belum menerima kekalahan. Guan Suo melepaskannya dan ronde ketiga dimulai. Energi dan stamina Bao Sanniang yang boros semakin berkurang, namun kali ini serangannya membuahkan hasil, pedang retaknya berhasil menusuk perut Guan Suo sedikit. Namun pada saat yang sama, Guan Suo juga menodongkan sebilah mata pedang yang patah ke lehernya.

"Kematian ketiga." Kemudian Guan Suo melempar mata pedang di tangannya itu ke tanah.

Bao Sanniang melihat luka di perut Guan Suo, mengucurkan darah dengan deras. Gadis itu menjatuhkan senjatanya dan berlutut. "Aku … kalah…?"

Zhang Feng tidak terima. "Bagaimana mungkin… bagaimana mungkin orang yang tidak pernah belajar kung-fu bisa mengalahkan jagoan dari keluarga Bao? Aku tidak percaya ini! Pasti ada kesalahan!"

Guan Suo meraba perutnya yang berdarah dan menjilat darahnya. Kemudian ia berkata pada Zhang Feng. "Rasanya seperti darah sungguhan."

Ucapan itu dimaksudkan Guan Suo bahwa Bao Sanniang bukan lawan sembarangan karena telah berhasil melukainya. Namun Zhang Feng tetap frustasi. "Tidak mungkin… lucu sekali… kami para jagoan kung-fu, tentara, pengelana … selama ini berusaha untuk mengalahkannya, tapi … seorang prajurit pelarian biasa bisa mengalahkannya seperti itu?"

"Tidak perlu diperumit seperti itu. Barangkali dia mengalah pada pemula sepertiku." Kata Guan Suo dengan wajah tersinggung.

Kemudian dia berdiri dan berkata pada gadis itu. "Nona, aku adalah pelarian perang dan nyawaku diselamatkan oleh adiknya orang ini. Ketika aku hendak pergi melanjutkan perjalananku, aku melihat orang yang menyelamatkanku itu dikerjai oleh anak buah anda.

Aku berhutang budi pada adiknya Zhang Feng, maka aku menolongnya. Tapi kelihatannya anak buah anda suka meludah. Mereka berkali-kali meludahiku sambil mengusirku pergi. Aku hanya membalas mereka sekali saja. Aku harap anda mengerti. Mengenai masalah desa, biar bicarakan saja dengan Zhang Feng. Aku permisi."

Guan Suo benar-benar pergi meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik semak. Bao Sanniang tidak bisa berhenti memandanginya bahkan ketika ia sudah beberapa lama menghilang dari pandangannya.

Sementara itu para bandit di belakangnya yang menyaksikan pempimin mereka dikalahkan seseorang untuk pertama kalinya, sibuk bicara sendiri.

"Bao Sanniang….?" Zhang Feng menghampirinya.

Bao Sanniang kemudian kembali ke dalam benteng untuk mengambil kudanya dan keluar lagi untuk menyusul Guan Suo.

Ia mencari-cari pemuda itu di dalam hutan yang sudah sangat dikenalnya dan menemukannya tidak jauh dari tepi sungai. Guan Suo sedang beristirahat sambil merasa kesakitan atas luka pada perutnya. Bao Sanniang turun dari kudanya dan menghampiri Guan Suo.

"Oh … kau…" kata pemuda itu. "Ada apa sekarang?"

Bao Sanniang berjongkok di sisinya dan membuka armor Guan Suo dan melihat lukanya. Sebuah luka tusuk yang cukup dalam. Kedua mata Bao Sanniang yang jernih menatap Guan Suo dengan waspada. Bao Sanniang merobek sedikit kain dari pakaiannya dan membalutkannya pada perut Guan Suo.

Bao Sanniang membawa Guan Suo kembali ke markasnya dan menyuruh Xing Fu, paramedis dalam kelompoknya untuk mengobati Guan Suo. Xing Fu mengobati semua luka Guan Suo, mulai dari luka terbaru hingga luka yang kemarin didapatnya.

"Dengan luka sebanyak ini, pasti luka dari bos kecil untukmu, kan?"

Lagi-lagi Guan Suo merasa pertanyaan itu tidak perlu direspon. Xing Fu sedang menjahit luka Guan Suo tanpa obat bius. Sengaja dilakukannya demi Gao Yuan yang sakit hati karena akhirnya ada juga yang berhasil mengalahkan Bao Sanniang dalam duel. Namun kelihatannya Guan Suo tidak memperdulikan rasa sakitnya, ia sibuk membaca buku.

"Nah. Selesai." Kata Xing Fu sambil membereskan peralatan jahitnya. "Heran. Ditusuk-tusuk tidak merasa sakit. Padahal tidak pakai arak, tidak pakai obat bius. Manusia atau setan?"

Setelah Xing Fu pergi, tinggallah Bao Sanniang, Guan Suo dan Zhang Feng bertiga dalam ruangan yang sama.

"Bagaimana kau bisa tenang membaca ketika perutmu sedang ditembus jarum dan benang tanpa obat bius?" tanya Zhang Feng.

"Justru bila aku tidak membaca, aku bisa menangis kesakitan seperti anak perempuan." Kata Guan Suo.

Zhang Feng melongo mendengarnya. Guan Suo melanjutkan. "Ayahku lebih hebat. Saat seseorang mengerik tulang lengannya tanpa obat bius, ia masih bisa main catur denganku dan menang."

"Hmph.. sombong sekali. Memangnya siapa ayahmu?" kata Zhang Feng dengan sebal.

"Zhang Feng." Bao Sanniang memanggilnya dengan lembut. "Bisakah kau tinggalkan kami berdua?"

Zhang Feng menghela nafas. Kemudian ia berdiri dan mendekati Bao Sanniang dan menggenggam kedua tangannya. "Aku mengerti bahwa ini wasiat ayahmu. Tapi jangan pernah lupa, aku selalu menunggumu. Bila kau cari aku, aku akan selalu ada untukmu."

Bao Sanniang hanya tersenyum. Zhang Feng pergi meninggalkan Bao Sanniang dan Guan Suo berduaan.

Dalam ruangan kecil itu, keduanya hanya diam saja. Guan Suo kembali menyibukkan diri dengan membaca buku pepatah Confucius yang diberikan Bao Sanniang tadi, sementara Bao Sanniang terus memperhatikan Guan Suo.

Mendadak Bao Sanniang bercerita. "Ketika aku kecil …"

Guan Suo perlahan menutup bukunya dan memperhatikan Bao Sanniang.

"…Ayahku mendidikku dengan keras karena tidak memiliki seorang anak lelaki satupun. Sesungguhnya aku ingin hidup seperti gadis normal lainnya. Memasak, bersenang-senang, membantu ibu di dapur dan sawah, jatuh cinta pada seorang lelaki dan menikah … tapi ayah menggemblengku dengan keras. Dan ketika ia meninggal dunia, ia mengatakan bahwa aku harus menikah dengan seorang lelaki kuat untuk meneruskan ilmu silat keluarga Bao. Aku harus menikah dengan seorang lelaki yang bisa mengalahkanku." Bao Sanniang lalu menatap Guan Suo.

Guan Suo bergerak perlahan dan santai. Ia meletakkan buku yang sedang digenggamnya, kemudian berdiri dan menghampiri Bao Sanniang yang tidak menjauhinya. Setelah duduk tepat di sebelah nona petarung itu, Guan Suo memperhatikan Bao Sanniang lekat-lekat.

Setelah itu Guan Suo mengangkat tangannya dan membelai pipi Bao Sanniang dengan lembut menggunakan jari-jarinya. "Kau cantik."

Bao Sanniang tersenyum lembut.

"Apakah berat bagimu selama ini, menjalankan keinginan terakhir ayahmu?"

Mata Bao Sanniang mulai berkaca-kaca. "Aku tidak ingin bertarung. Sesungguhnya aku mencintai Zhang Feng, tapi mendengar ucapan-ucapannya membuatku jijik…"

"Menurutmu kata-katanya cukup lucu. Anggap saja dia sedang bergurau." Kata Guan Suo yang menurunkan tangannya.

Bao Sanniang tersenyum. "Tapi itu sudah masa lalu. Entah mengapa perasaan sukaku padanya menguap begitu saja sejak ia menjadi begitu ambisius. Sekarang, apa yang akan kau lakukan?"

Guan Suo menatap lantai sebentar, kemudian kembali menatap Bao Sanniang. "Justru aku yang ingin bertanya padamu. Bila kita menikah, aku pasti meninggalkanmu. Aku juga tidak tahu apakah aku akan kembali atau tidak. Tapi aku tidak mungkin tinggal di sini."

"Bagaimana bila aku mengikutimu?"

"Kau tidak bisa begitu, bagaimana dengan mereka?"

"Aku bisa meninggalkan mereka dan mengikutimu. Aku tidak akan meninggalkanmu." Kata Bao Sanniang.

Guan Suo tertawa. "Klasik sekali…kau tidak kenal siapa aku. Bagaimana bila aku berbuat jahat padamu dan membuatmu menderita? Kau mau mengambil resiko seperti itu?"

"Bila ini yang harus kujalani, apa boleh buat. Aku hanya melaksanakan amanat terakhir ayahku." Kata Bao Sanniang.

Maka, Guan Suo membawa Bao Sanniang turun gunung dan menikah di desa. Zhang Feng patah hati dan mulai membuka hati untuk beberapa wanita yang selama ini menggandrunginya. Perkumpulan bandit pun bubar dan orang-orang berterima kasih pada Guan Suo yang menganggap telah menyelamatkan mereka dari teror bandit-bandit gunung.

Setelah meninggalkan desa itu, nama Guan Suo menjadi terkenal dalam perbincangan orang-orang di sana sebagai seorang pahlawan.

Adik Zhang Feng, Zhang Mei Hua, menjahitkan sebuah pakaian untuk Guan Suo dengan motif bunga. Awalnya Guan Suo terlihat tidak terima dengan motif itu. Namun demi menghormati penyelamat hidupnya, Guan Suo selalu mengenakannya, membuatnya merasa aneh.

Bao Sanniang menyindir. "Aih … manis sekali gadis itu…memberikanmu pakaian dengan motif bunga yang ia sukai. Jangan-jangan sebagai ganti dirinya yang tidak bisa mendampingimu berpergian."

"Dia suka bunga, ya motif yang dia buat juga bunga. Apa anehnya?" Guan Suo tidak sadar dengan ucapan istrinya yang bernada cemburu itu. Ia berbaring di atas peraduannya dengan santai. Setelah menikah, mereka hidup di rumah keluarga Bao yang selama ini dihuni oleh kakak-kakak Bao Shanniang.

Gadis manis itu hanya duduk memandangi suaminya saja dari tempat duduk di seberang tempat tidur. Ini malam pengantin dan mereka hanya duduk-duduk saja. Memang mereka masih belum saling mengenal, namun kelihatannya orang ini tidak ada niat sedikitpun untuk memulai perkenalan. Hatinya berdebar-debar membayangkan apa yang akan terjadi beberapa saat lagi. Mereka bilang cukup memejamkan mata saja, beberapa lama kemudian sudah beres dan tidak terasa matahari sudah terbit.

Timbul beberapa pertanyaan dalam benak Bao Shanniang. Apakah dia akan memperlakukannya dengan kasar? Apakah ia hanya akan menjadi permainan saja? Orang ini cukup gagah, pasti tidak sulit untuk mencari perempuan, apakah dia akan meninggalkannya?

Bao Shanniang sadar betul bahwa sejak tadi di pesta pernikahan mereka, lelaki jangkung ini diam-diam menjadi pusat perhatian para gadis maupun wanita. Benarkah begitu, atau dia yang memang terlalu pencemburu?

Tapi sekarang hanya ada dia dan Guan Suo, malam ini hanya milik mereka berdua. Bao Shanniang sangat penasaran seperti apa lelaki ini akan memperlakukannya. Beberapa kali ia gelisah dan menghela nafas, sibuk menerka-nerka apa yang akan terjadi. Diliriknya lengan kekar pemuda itu, dibayangkannya bagaimana tangan itu akan menggerayangi tubuhnya nanti. Tatapannya naik hingga ke bibir lelaki itu. Ada otot wajah yang tebal di sana, dan bibir itulah yang nanti akan menciumnya dan menghanyutkannya dalam kenikmatan senggama.

Bao Shanniang dibuat berdebar-debar oleh imajinasinya sendiri sehingga sebuah teguran pun mengejutkannya.

"Hei."

Bao Shanniang tersekat.

Tangan Guan Suo menepuk-nepuk sebuah area di sisinya, bahasa tubuh untuk mengajaknya tidur dalam peraduan yang sama.

Menolak tidak mungkin, namun dalam hati Bao Shanniang merasa antara siap dan tidak siap akan pengalaman baru yang akan dirasakannya sebentar lagi. Dengan kalem, ia beranjak dari kursi dan duduk di sisi peraduan. Awalnya ia hanya duduk di pinggir sekali, memunggungi Guan Suo. Kemudian ia melepas tusuk rambut yang menambat rambutnya satu persatu dan menyisirnya dengan lembut.

Gadis itu akan menjadi wanita sebentar lagi, selama ini ia duduk di atas kuda dan dengan gagah mengayunkan tombak ke sana ke mari menumbangkan musuh-musuhnya dan ditakuti lawan. Malam ini ia akan menjadi wanita sejati.

"Anu … barangkali kita bisa mulai dengan berpegangan tangan…"

Tidak ada jawaban.

Bao Shanniang memperingati suaminya. "Kalau kau berani main kasar, aku tidak akan ragu menghajarmu!"

Tak ada jawaban.

Bao Shanniang menoleh pada suaminya dan membatalkan kembali apa yang hendak ia katakan barusan. Melihat Guan Suo tidur di pojoknya pojok ranjang, memberikan Bao Shanniang ruangan sebesar dua pertiga dari keseluruhan ranjang itu, Bao Shanniang merasa kecewa.

"Mungkin dia terlalu lelah karena minum arak dari tadi." Gumamnya.


Sumber

Comments (0)

Clock World